Menjelajah kuliner legendaris Bandung rasanya sulit bila dilakukan sendirian. Sebagai salah satu kota yang sudah cukup tua, Bandung memiliki sejarah perkulineran yang cukup panjang juga. Banyak kuliner yang sudah berdiri bahkan sejak zaman Belanda. Bersama Ceritabandung, aku menjelajahi cerita-cerita sebagian kuliner legendaris yang ada di Bandung. Sebagian, karena tentu masih banyak kuliner legendaris yang tidak bisa diceritakan sekaligus.
Pukul 08.20 WIB aku bergegas memesan ojek online yang akan mengantarkanku ke Jalan Veteran, tepatnya di depan Click Square. Di sini merupakan titik kumpul bagi para peserta walking tour yang diselenggakaran oleh Ceritabandung, salah satu operator tur di kota Bandung. Aku sudah diberikan konfirmasi titik kumpul melalui Whatsapp sehari sebelumnya.
Pagi itu Bandung masih cukup sepi. Belum banyak kendaraan berlalu-lalang sehingga membantuku bisa datang sebelum tur kuliner legendaris Bandung dimulai. Perjalanan dari kos ke titik kumpul hanya sepuluh menit. Mungkin jadi hal yang mustahil terjadi bila hari kerja dan agak siang sedikit. Click Square masih sepi sekali. Tampaknya baru tiga orang peserta tur yang sudah tiba.
Sekilas tentang ceritabandung. Ceritabandung merupakan salah satu operator tur wisata yang berasal dari kota Bandung. Salah satu produk yang dijual adalah walking tour atau berwisata sambil berjalan kaki. Beberapa tujuannya adalah tempat-tempat bersejarah, sembari bercerita tentang tempat tersebut. Termasuk yang sedang aku ikuti saat ini adalah menelusuri jejak-jejak kuliner legendaris yang ada di Bandung. Info selengkapnya mengenai akun dan jadwal tur bisa melalui akun instagram mereka @ceritabandung.id.
Peserta satu persatu berdatangan. Click Square juga sudah buka. Oleh Ci Fey, pemandu kami pagi itu, kami dipersilakan untuk belanja, membeli bekal air atau roti bagi yang belum sarapan. Ci Fey memperkenalkan diri setelah kami lengkap berkumpul. Kami melanjutkan dengan memperkenalkan diri masing-masing. Ci Fey menceritakan sedikit preview dari perjalanan kami secara singkat. Selanjutnya kami diajak untuk langsung menuju kuliner legendaris Bandung pertama: Toko Negro Brand.
Toko Negro Brand
Toko Negro Brand merupakan sebuah toko selai yang sudah berdiri sejak tahun 1930an. Fasad bangunannya sudah terlihat jelas dari luar yang memperlihatkan Toko Negro Brand masih menggunakan rumah model zaman Belanda. Lokasinya meski di tepi jalan, tetapi agak tertutup oleh pohon di depannya membuat orang jadi tidak ngeh kalau ada toko selai tua di Bandung.
Salah satu produk yang khas dari Toko Negro Brand adalah selai dari buah Lobi-lobi. Menurut penuturan Ci Fey, yang menyadur pemilik dari toko, salah satu pohon yang berdiri di depan rumah ini adalah pohon Lobi-lobi. Warna buah Lobi-lobi seperti buah strawberry tapi memiliki rasa sedikit masam. Keberadaan Toko Negro Brand ini sangat membantu warga Belanda zaman dulu yang biasanya suka sarapan dengan roti. Selain selai Lobi-lobi, Toko Negro Brand juga memproduksi selai kacang baik untuk roti maupun untuk bumbu gado-gado dan Orson, minuman sejenis sirup yang suka dihidangkan saat lebaran.
Penamaan Negro dipercaya berasal dari sejarah zaman dulu orang-orang kulit hitam yang bekerja di tempat orang-orang kulit putih. Orang-orang kulit hitam ini umumnya bekerja di dapur dan bisa menghasilkan masakan yang lezat, sehingga digaji mahal pada saat itu. Sayangnya, keturunan pemilik asli Toko Negro Brand ini tidak bisa mengonfirmasi hal ini.
Baca juga: Perjalanan Mudik 2023 Bersama Gunung Harta
Kami harus bergantian saat masuk ke Toko Negro Brand. Menurut Ci Fey, pemilik saat ini mudah sensitif. Pengunjung yang terlalu ramai di toko saja bisa membuat sang pemilik marah-marah. Dari Toko Negro Brand, kami berjalan melanjutkan penjelajahan kuliner legendaris di Bandung, menuju ke tempat kedua: Es Sekoteng Si Bungsu.
Es Sekoteng Si Bungsu
Tak jauh dari Toko Negro Brand, di seberang jalan, terdapat sebuah toko kecil yang menjual sekoteng. Sekoteng adalah salah satu minuman yang umum ditemui di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Biasanya dijual dalam sebuah mangkuk kecil yang berisi air jahe yang hangat dan beberapa isian seperti candil dan sebagainya. Di sana sekoteng dijual pada malam hari. Tetapi di Bandung, tepatnya di Es Sekoteng Si Bungsu, penjual berinovasi dengan menyajikan sekoteng mulai pagi hari dan diberi es.
Sekoteng sendiri berasal dari daratan China dan umumnya disajikan untuk para raja pada musim dingin. Cocok untuk menghangatkan tubuh. Para pendatang dari China ini kemudian sedikit mengubah isian semula yang terdiri dari buah lengkeng dan kacang-kacangan menjadi isian sekoteng yang kita kenal saat ini. Modifikasi menggunakan es juga mengadaptasi kondisi di Indonesia yang lebih panas. Penamaan Si Bungsu pada kuliner legendaris satu ini berasal dari nama jalan. Semula Jalan Veteran di Bandung ini bernama Jalan Bungsu.
Aku dan beberapa peserta tur kemudian memesan es sekoteng. Ada juga yang memesan baso tahu. Lumayan untuk mengganjal perut. Yang menjadi ciri khas dari Es Sekoteng Si Bungsu adalah Pacar Cina dan alpukat. Es Sekoteng yang disajikan segar sekali. Namun kalau menurutku, ini lebih mirip dengan es teler dibanding sekoteng. Satu porsi es sekoteng dihargai Rp 20.000,00.
Batagor Kingsley
Dari Es Sekoteng Si Bungsu, kami berjalan lagi menuju salah satu kuliner legendaris lainnya: Batagor. Batagor atau singkatan dari Bakso Tahu Goreng sudah dikenal sebagai salah satu jajanan khas Bandung. Sesuai dengan namanya, jajanan ini terdiri dari bakso dan tahu. Tahu dihancurkan dan dimasukkan ke dalam pangsit kemudian digoreng. Selain itu ada juga kulit tahu yang diisi dengan bakso yang kemudian digoreng. Dari situlah penamaan Batagor berasal.
Menurut sejarah, batagor dibawa oleh seorang penjual bakso dan tahu kukus, berasal dari Jawa Tengah dan menjual dagangannya di kota Bandung. Pada waktu itu, sang penjual yang bernama Isan tidak berhasil menjual habis dagangan baksonya. Agar tidak mubazir, sisa-sisa penjualannya yakni bakso dan tahu kemudian digoreng dan dibagikan ke tetangganya. Ternyata tetangga Pak Isan lebih menyukai bakso dan tahu yang sudah digoreng. Melihat peluang tersebut, Pak Isan kemudian menjualnya dan laris hingga saat ini. Saat ini, beliau menjual dagangannya dengan nama Batagor Pak Haji Isan. Namun, tempat yang kami kunjungi bukanlah Batagor Pak Haji Isan, melainkan Batagor Kingsley.
Batagor Kingsley berusia lebih muda dari Batagor Pak Haji Isan. Bila Batagor Pak Haji Isan mulai ada sejak tahun 1970-an, Batagor Kingsley muncul pada tahun 1980-an. Semangat berbisnis pemilik Batagor Kingsley untuk menjadi raja kuliner di Bandung yang menjadi inspirasi penamaan Kingsley. Selain itu, bahan yang digunakan dalam Batagor Kingsley tergolong bahan premium, meskipun sekarang sudah jarang dijual karena sudah diganti pertalite dan pertamax, sehingga harga batagor di sini di atas rata-rata penjual batagor yang banyak dijumpai di pinggir-pinggir jalan.
Fresh Yoghurt
Selesai dari Batagor Kingsley, kami melanjutkan perjalanan mampir ke tempat penjual yoghurt yang sudah berjualan sejak sepuluh tahun belakangan. Di sini, aku membeli minuman olahan susu yang sudah ada sejak lama dengan rasa mocca. Yoghurt merupakan minuman olahan susu yang sangat direkomendasikan untuk kesehatan pencernaan. Karena hanya mampir saja, kami berhenti sebentar dan melanjutkan perjalanan ke PT Rasa.
PT Rasa
“Awal mulanya, di tempat ini berdiri sebuah firma (peserikatan dagang) yang memproduksi manisan, permen, atau coklat yang bernama Hazes (lengkapnya N.V. Hazes).” Begitu yang disampaikan Ci Fey saat kami semua tiba di sebuah toko roti dan cafe yang di atas salah satu pintunya terdapat sebuah nama bertuliskan Rasa berukuran besar.
“Pemiliknya orang Eropa bernama Hazes yang memproduksi coklat dan permen, meskipun sebetulnya dia adalah pengusaha roti.” Lanjut Ci Fey, pemandu kami. Pada era itu, karena adanya coklat dan permen dari Hazes, Hindia Belanda kemudian menghentikan impor coklat dan permen dari Eropa. Bahkan, gubernur jenderal Hindia Belanda saat itu sangat menyukai coklat produksi dari Hazes. Coklat produksi Hazes banyak yang dijadikan sebagai meses yang menjadi teman makan roti para gubernur jenderal. “Hazes ini dulu sangat fenomental karena sudah menggunakan teknologi listrik pada saat pabrik lain masih menggunakan teknologi gas,” imbuh Ci Fey.
“Kalian kalau mau mencoba es krim jadul juga ada di sini. Ada juga ice cake yang dijual dalam bentuk satu slice es yang rasa dan teksturnya sangat identik dengan es krim jadul. Namun, harganya lumayan, sekitar Rp 35.000.” Tambah Ci Fey sambil menunjukkan foto sebuah plakat milik PT Rasa atau Hazes zaman dulu. Plakat tersebut sudah ada sejak toko ini berdiri. Namun karena sempat hilang, mereka menampilkan foto plakat dan disimpan dalam sebuah lemari bersama dengan beberapa alat jadul yang dulu dipakai oleh Hazes di sudut bagian dalam toko.
Begitu Ci Fey mempersilakan, kami masuk satu persatu ke dalam PT Rasa melalui pintu depan. Telah berdiri seorang bapak berusia cukup tua yang kemudian sigap menyambut kami. Bapak ini sudah bekerja di PT Rasa sejak tahun 1970-an dan semula bertugas memegang posisi pembuat es krim. Saat ini beliau bekerja sebagai penyambut tamu sekaligus bercerita tentang PT Rasa.
Kami berfoto sejenak sebelum melanjutkan perjalanan tur. Di pemberhentian selanjutnya, kami mengunjungi sebuah toko roti lagi yang sudah sangat terkenal di Bandung. Lokasinya ada di Jalan Braga. Namanya Sumber Hidangan.
Sumber Hidangan
Kami beranjak dari PT Rasa, melewati gang hingga tembus ke Jalan Braga, lalu berbelok dan masuk ke sebuah toko roti. Tentunya toko roti legendaris Sumber Hidangan sudah tidak asing lagi khususnya bagi wargi Bandung. Aroma roti yang sedang dipanggang di dalam oven menguar memenuhi rongga udara di dalam toko. Harum sekali wangi rotinya.
“Toko ini berdiri sejak tahun 1929. Semula bernama Het Snoephuis yang berarti camilan. Namun sejak Indonesia merdeka, toko ini berganti nama menjadi Sumber Hidangan.” Begitu penjelasan dari Ci Fey. “Dari dulu hingga sekarang, roti yang dijual di Sumber Hidangan masih menggunakan resep yang sama.”
“Kita berhenti dulu di sini, ya. Silakan mencoba beberapa menu di Sumber Hidangan. Beberapa yang paling favorit yaitu Bokkepoot yang berbentuk seperti kaki kambing dan Bitterballen. Keduanya dijual dalam ukuran gram dan selalu habis. Kalian coba juga es krimnya karena rasa dan teksturnya berbeda dari PT Rasa.” Ci Fey menjelaskan dan mempersilakan kami untuk mencicipi hidangan.
Aku memesan bolu bakar dan es krim Snow Whitenya. Rasanya tidak terlalu manis tapi lembut. Menurut pegawai Sumber Hidangan, ada satu es krim yang paling diincar, sayangnya selain aku lupa nama menunya, menu tersebut juga menggunakan rum, sehingga aku tidak memesannya.
Bakery Canary
Selain Sumber Hidangan, Bakery Canary juga menjadi salah satu kuliner legendaris Bandung yang berada di Jalan Braga. Tidak heran karena sejak dulu Braga memang dikenal sebagai salah satu pusat ekonomi di Bandung. Toko yang sekarang bernama Bakery Canary ini sebelumnya bernama toko es krim Baltic dan terkenal dengan rasa es krimnya yang sangat melegenda.
Meski sudah berganti nama menjadi Bakery Canary, tapi es krim yang menjadi ciri khas toko es krim Baltic masih terjual dengan menggunakan resep yang sama. Tidak heran juga bila Bakery Canary atau toko es krim Baltic dikenal sebagai surganya makan es krim di Braga. Selain di Bandung, es krim Baltic juga ada di Jakarta Selatan. Bangunan yang saat ini ditempati oleh Bakery Canary adalah bangunan yang relatif baru.
Mi Kocok Daeng
Bila sebelumnya kebanyakan membahas tentang makanan ringan dan memiliki rasa manis. Kali ini kami mengunjungi kuliner legendaris dalam kategori makanan berat yaitu Mie Kocok. Mie Kocok merupakan salah satu kuliner legendaris khas dari kota Bandung dan kami mengunjungi salah satu tempat legendarisnya yaitu Mi Kocok Daeng.
Mie kocok Daeng dijual mulai tahun 1953. Waktu itu, mie kocok tidak dijual di rumah makan atau warung seperti sekarang, melainkan dijual keliling menggunakan pikulan. Toko mi kocok Daeng ini ada di beberapa lokasi, lokasi pertamnya ada di Jalan Banteng, bukan di tempat yang kami kunjungi siang itu.
Penamaan mie kocok sendiri berasal dari cara memasak mi sebelum disajikan. Mi berwarna kuning dimasukkan ke dalam wadah khusus berlubang, persis yang biasa kita lihat di tukang mi ayam gerobakan, kemudian direbus beberapa saat. Setelah itu, untuk menghilangkan air, mi dalam wadah tersebut dikocok-kocok.
Ciri khas mie kocok adalah kuahnya yang menggunakan bumbu rahasia. Menurut kabar, bumbu rahasianya menggunakan 20 jenis rempah-rempah yang membuat kuah mi kocok tetap kaya rasa meskipun jernih. Selain itu, sumsum tulang sapi juga menjadi ciri khas dalam mi kocok. Bagi yang menggilai sumsum disediakan sedotan juga untuk menyeruput sumsum dari dalam tulang.
Di sini kami istirahat lama karena bertepatan dengan waktu makan siang sekaligus diberi kesempatan untuk salat duhur. Aku memesan mi kocok original dengan air putih dingin. Porsinya cukup banyak memang, sehingga keputusanku untuk memesan mi kocok tanpa tambahan nasi sudah sangat tepat. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, rasa kuahnya begitu kaya. Makan mi kocok tidak lengkap bila tidak ditambahkan kecrutan jeruk nipis dan sambal.
Warung Makan Ceu Mar
Dari namanya sudah sangat jelas kalau Warung Makan Ceu Mar merupakan tempat makan khas di Bandung. Warung Makan Ceu Mar terkenal karena selalu buka di malam hari hingga subuh dan menjadi sasaran para loper koran. Namun, ternyata anak-anak muda, khususnya yang pulang dugem di Jalan Braga, juga banyak yang datang dan semakin meramaikan warung makan Ceu Mar.
Makanan yang dijual mirip dengan warteg yaitu kuliner khas rumahan. Uniknya, di warung makan Ceu Mar ini disinyalir punya kode-kode khusus yang akan membedakan harga makanannya. Pembedaan harga makanan di sini dilihat dari tampilan pembeli. Bila pembeli datang dengan tampilan yang trendi dan bagus, siap-siap saja harga makanannya akan sedikit dinaikkan meskipun menunya sama. Ada-ada saja.
Siang itu Warung Makan Ceu Mar sedang tutup sehingga kami hanya berhenti sebentar dan langsung menuju ke Mie Ayam Linggarjati.
Mie Ayam Linggarjati
Mie Ayam Linggarjati lokasinya tidak jauh dari alun-alun Bandung dan masjid besar Bandung. Tentu saja tidak jauh juga dari jalan Asia Afrika dengan tulisan “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum” itu. Awal mulanya, di sini berjualan sayuran dan nasi rames sebelum kemudian fokus berjualan mi ayam. Di sini, mi ayam yang dijual memiliki beragam toping seperti bakso hingga babat. Selain mi ayam, alpukat kocok di Linggarjati juga sangat khas dan enak. Harganya memang cukup mahal, tetapi sebanding dengan kualitas alpukatnya. Aku sudah pernah mencoba makan di sini bersama Bayu dan Reza, jadi aku tidak memesan makan di sini.
Pisang Goreng Kipas Simanalagi
Kali ini kami berhenti di salah satu sudut pecinan kota Bandung. Toko yang berada di depan kami berdiri ini dulunya ada sebuah tempat berjualan pisang goreng kipas bernama Simanalagi. Saat ini penerusnya tidak lagi menjual pisang goreng kipasnya di sini dan berpindah ke tempat modern seperti di Riau Junction. Sepertinya beliau beradaptasi juga karena tentu tempat modern seperti di mal akan lebih ramai.
Sebelumnya, penjual pisang goreng kipas Simanalagi ini berjualan di sebuah warung tenda dekat alun-alun. Waktu itu, di sekitar alun-alun terdapat dua bioskop dan menjadi pusat berkumpulnya anak-anak muda Bandung. Semakin ramai, penjualnya memindahkan ke sebuah toko di pecinan sebelum kemudian dipindahkan lagi ke mal.
Selain menjual pisang goreng kipas yang terkenal, Simanalagi juga menjual beberapa gorengan lain seperti tempe. Harga pisang goreng kipas yang terkenal itu Rp 5.000,00 dan memang tergolong mahal untuk sekelas gorengan. Tapi menurut Ci Fey, rasa pisang goreng kipas Simanalagi memang enak. Sepertinya kapan-kapan boleh, nih, aku coba pesan lewat aplikasi daring.
Toko Roti Sidodadi
Di Jalan Otto Iskandar Dinata atau Otista yang sangat ramai, kami berhenti di depan sebuah toko dengan plakat bertuliskan Toko Sidodadi. Dari plakatnya yang terbuat dari kayu dan modelnya, sih, sudah terlihat kalau toko ini pasti sudah berumur sangat tua. Benar saja, menurut info yang disampaikan oleh Ci Fey, Toko Sidodadi sudah berdiri sejak tahun 1950-an.
Sejak berdiri, Toko Sidodadi terkenal dengan makanan Carabikangnya. Kue Carabikang yang terbuat dari tepung beras ini menjadi andalan dari Toko Sidodadi dan selalu laris manis. Sayangya sejak pandemi, Toko Sidodadi sudah tidak lagi menjual Carabikang dan fokus berjualan roti saja.
“Ada hal yang unik dalam bungkus kemasan yang berasal dari Toko Sidodadi.” ujar Ci Fey memberi tahu kami. Bungkus kemasan dari Toko Sidodadi ini menggunakan desain yang tidak pernah berubah dari awal berdirinya. Hal ini tampak dari anjuran KB (Keluarga Berencana) yang saat itu sedang digalakkan oleh pemerintah. Ci Fey menambahkan, “Walaupun Toko Sidodadi berjualan produk makanan, Toko Sidodadi tetap menyematkan iklan program KB yang menjadi program pemerintah.”
Lotek Kalipah Apo
Semua sudah tahu kalau Lotek merupakan salah satu makanan khas Bandung. Meskipun menjadi makanan khas Bandung, tapi Lotek tidak bisa dilepaskan dari negara luar. Menurut informasi dari Ci Fey, penamaan Lotek berasal dari kata Low Tech, karena seorang wartawan asal Inggris yang membuat salad versi lokal dengan menggunakan teknologi sederhana atau Low Technology.
Meskipun sama-sama menggunakan bumbu kacang, lotek berbeda dengan gado-gado. Perbedaan lotek dan gado-gado yaitu lotek menggunakan kencur sebagai salah satu bahannya. Sementara bila dibandingkan dengan Pecel dari Jawa Timur, lotek berbeda dari sayuran penyusunnya. Baik lotek, gado-gado, maupun pecel, kalau masuk ke restoran pasti harganya jadi mahal dan berubah nama menjadi salad with peanut sauce. Lotek Kalipah Apo diambil dari lokasi toko ini berdiri yang ada di Jalan Kalipah Apo.
“Dulu ada seorang khalifah, bernama Muhammad Syueb. Selain sangat berjasa dalam bidang keagamaan, Beliau juga merupakan salah satu tokoh yang piawai dalam tembang Sunda. Beliau sudah sangat terkenal sejak tahun 1980-an, ketika Bandung masih bergabung ke dalam Kabupaten Bandung sebelum berdiri sendiri sebagai kotamadya.” Ucap Ci Fey. Karena orang Sunda umumnya sulit mengucapkan kata dengan huruf f dan v dan menggantinya dengan huruf p, maka kata khalifah pun bergeser menjadi kalipah. Lalu bagaimana dengan kata Apo? Ci Fey tidak bercerita soal itu.
Soto Ojolali
“Sebelum mengakhir perjalanan kali ini, saya akan bercerita sedikit tentang rumah makan Soto Ojolali yang ada di belakang kita.” Ci Fey menjelaskan bahwa Soto Ojolali ini merupakan salah satu kuliner legendaris yang ada di Bandung. Soto Ojolali berdiri sejak tahun 1940-an. Pendirinya bernama Makarta dan Makendi, dua orang laki-laki yang fotonya dipigura dan terpampang di dalam toko. Mereka berdua adalah orang Jawa yang merantau dan berjualan soto dengan cara berkeliling di sekitar Cibadak dan Otista sebelum kemudian menetap di Jalan Cibadak.
Penamaan Ojolali sendiri ada dua versi. Versi pertama berasal dari kisah cinta Makarta yang berpisah dengan kekasihnya dan berucap “Ojo lali” yang artinya Jangan Lupa. Versi kedua berasal dari ucapan para pelanggannya yang mayoritas orang Jawa. Mereka menamai soto tersebut “ojo lali” dengan harapan agar tidak lupa dengan kelezatannya dan kembali lagi.
Soto Ojolali menjual soto khas Bandung dengan bahan dasarnya lobak dan daging sapi. Soto merupakan makanan khas Indonesia yang masih ada pengaruh dari negeri China. Uniknya, ada banyak sekali varian soto yang tersebar di seluruh Indonesia, dan masing-masing memiliki ciri khasnya tersendiri.
Soto Ojolali menjadi tempat terakhir yang kami kunjungi. Ci Fey lantas menyodorkan handphone-nya yang sudah menampilkan barcode QRIS. Seperti walking tour pada umumnya, kami bisa membayar perjalanan ini seikhlasnya. Ceritabandung menggunakan metode dengan cara scan barcode QRIS tersebut lalu memasukkan nominal seikhlasnya. Kami masing-masing langsung berpisah begitu kegiatan walking tour ditutup oleh Ci Fey.
Terima kasih, Ci Fey. Terima kasih, Ceritabandung.
[…] Baca cerita lengkap Bandunglicious di sini […]
[…] aku lakukan sendirian, melainkan ditemani oleh Riyani. Ia teman baru yang aku kenal dari kegiatan walking tour di Bandung bersama Ceritabandung. Namun, saat ngobrol-ngobrol, ternyata aku dan Riyani merupakan teman sekantor, hanya beda divisi […]