Kawah Ijen

Pukul satu dini hari alarm hp-ku berdering. Cukup untuk membangunkanku. Kali ini sengaja aku menyetel alarm pada dini hari karena hari ini aku harus bersiap-siap untuk dijemput dan menuju ke Gunung Ijen. Hari ini aku akan mengunjungi Kawah Ijen dan mencoba untuk melihat blue fire-nya yang tersohor itu.

Ini adalah hari ketiga aku di Banyuwangi. Kemarin aku menuju ke arah barat daya, tepatnya ke Pantai Teluk Ijo. Kali ini tujuanku adalah pergi ke utara dan mendaki gunung. Gunung yang akan aku daki di hari ketiga ini adalah Gunung Ijen. Di Gunung Ijen, pengunjung bisa melihat keindahan api biru atau blue fire. Blue fire di Gunung Ijen ini sangat populer bahkan hingga ke mancanegara.

Pukul setengah dua pagi aku sudah siap di lobi hotel Blambangan menunggu jemputan. Untuk menuju ke Gunung Ijen, aku memilih untuk ikut open trip saja. Alasannya karena ini adalah kali pertama aku akan ke Ijen. Selain itu, setelah aku melakukan riset kecil-kecilan sebelum berangkat, untuk menuju ke basecamp Ijen jalanan yang harus dilalui cukup “menantang”. Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk ikut open trip sehingga aku tidak perlu pusing dan takut dalam perjalanan ke Ijen.

Aku memilih ikut dengan open trip yang diadakan oleh tim Kawah Ijen Indonesia. Sebetulnya ada banyak operator yang menawarkan paket-paket open trip ke Ijen. Tidak ada alasan khusus, hanya saja operator ini juga bermutual dengan salah satu orang yang aku percaya. Kalau teman-teman ingin menggunakan jasa operator lain tentu saja dipersilakan. Pun tulisan ini bukan tulisan berbayar dan murni cerita pengalamanku saja.

Dari jauh-jauh hari aku sudah memesan untuk ikut open trip dengan mereka. Seingatku, Kawah Ijen Indonesia membuka open trip ke Ijen setiap hari. Aku memilih untuk berangkat pada Senin dini hari dengan pertimbangan pengunjung Ijen akan lebih sepi karena Senin sudah masuk hari kerja. Langsung saja aku membayar kontan sebesar Rp200.000 untuk satu orang. Biaya tersebut sudah mencakup semua termasuk gratis antar jemput di penginapan masing-masing selama masih di dalam kota Banyuwangi, fee guide, tiket masuk, peminjaman peralatan seperti masker dan head lamp, dan sarapan pagi ringan setelah turun dari gunung.

Pukul setengah dua pagi, pihak Kawah Ijen Indonesia sudah tiba di depan hotel. Aku bergegas masuk ke dalam mobil jemputan. Dari sini ternyata aku tidak langsung diantar ke basecamp, melainkan berhenti di satu titik untuk digabung dengan mobil lain karena mobil yang aku tumpangi harus menjemput tamu yang lain. Tidak masalah.

Gerbang Awal Pendakian Kawah Ijen

Mobil Avanza bergerak menyusuri jalan menuju ke basecamp Paltuding. Jalan menuju ke basecamp Paltuding sangat gelap. Dari desa terakhir menuju basecamp benar-benar tidak ada lampu penerangan jalan. Hanya lampu mobil kami saja yang menyoroti jalanan. Jalanan yang gelap membuat aku hanya bisa merasa bahwa jalan yang sedang aku lalui ini berkelok-kelok dan menanjak.

Baca juga: Jalan-Jalan ke Taman Nasional Baluran Situbondo

Supir yang mengantarkan kami mengatakan akan mematikan AC karena jalanan akan menanjak cukup ekstrem dan khawatir mobil tidak kuat menanjak jika menggunakan AC. Jendela mobil pun dibuka agar ada sirkulasi udara masuk. Mesin mobil menggerung dan bergerak perlahan. Ada sedikit kekhawatiran tidak kuat menanjak. Apalagi ada momen kami harus berhenti karena ada mobil di depan kami yang tidak kuat menanjak.

Jalanan yang penuh dengan kelok dan tanjakan yang cukup ekstrem itu tidak dibantu oleh cahaya lampu sedikitpun. Skill pengemudi benar-benar diuji di sini. Sepertinya hanya orang-orang yang sudah berpengalaman yang bisa melibas jalanan ini. Salah satunya adalah supir yang membawaku ini. Dari sini aku langsung bersyukur karena memilih ikut open trip dibanding pergi sendiri.

Telingaku mulai terasa bindeng karena ada perbedaan ketinggian dan tekanan udara. Perjalanan menuju basecamp Licin membutuhkan waktu sekitar satu jam. Kami tiba di basecamp dan langsung diarahkan ke salah satu warung di sana. Saat pagi sudah tiba, aku menyadari ternyata di basecamp ini juga ada penginapan.

Di warung ini, aku dan tamu lainnya dipersilakan untuk istirahat sejenak sekaligus dikumpulkan untuk pembagian peralatan seperti masker dan head lamp. Momen yang tepat juga bagi yang ingin kencing atau sekadar menghangatkan diri sejenak karena pagi itu benar-benar dingin. Selesai pembagian peralatan, kami diajak untuk mengantre di depan loket. Hampir pukul empat pagi, loket mulai dibuka, kami dibagikan karcis dan mulai mendaki.

Harapanku untuk mendaki dalam keadaan sepi sirna karena rupanya pagi itu masih cukup banyak pengunjung yang juga ikut naik ke Ijen. Terlebih turis mancanegara. Aku mendaki bersama tamu lainnya perlahan-lahan. Jalan mendakinya tidak terlalu sulit. Cukup lebar dan rata. Gunung Ijen memang salah satu gunung spesial karena selain jalannya yang enak, pengunjung bahkan bisa menyewa ojek Ijen.

Meski bernama ojek, tapi di sini ojek Ijen tidak menggunakan motor. Ojek Ijen menggunakan tenaga manusia dan menggunakan semacam gerobak untuk mengangkut tamu yang tidak kuat. Biayanya cukup mahal menurutku, tapi bila dibandingkan dengan usaha bapak tukang ojek dan kemudahan bagi tamu yang tidak kuat, harga sewa ojek Ijen ini sangat sebanding. Aku masih cukup kuat dan memilih untuk berjalan kaki saja.

Ojek Ijen

Ada beberapa pos yang kami lalui dari basecamp menuju ke puncak Ijen. Kami selalu menyempatkan diri untuk beristirahat di pos-pos yang kami lalui barang satu atau dua menit. Aku sendiri tidak masalah karena aku juga menyadari kalau tidak semua tamu sudah terlatih atau melakukan persiapan sebelumnya. Toh tidak ada salahnya juga beristirahat sejenak sambil minum atau buang air kecil. Ya, betul, di pos ada yang menyediakan toilet.

Kami terus menanjak perlahan tapi pasti hingga tiba di pos lima. Di sini adalah pit stop utama sebelum naik ke puncak. Di pos lima ini juga guide kami mempersilakan untuk istirahat lebih lama agar kami bisa menunaikan salat subuh. Aku langsung menggelar sajadah tanpa melepas sepatu dan menunaikan salat subuh di musala kecil yang ada di pos lima. Beberapa tamu yang tidak salat juga menggunakan kesempatan untuk beli tempe goreng atau teh hangat.

Melihat Sunrise dari Pos 5
Ramai Mengabadikan Sunrise di Pos 5

Cahaya matahari sudah mulai tampak dari arah timur pertanda pagi sudah benar-benar tiba. Dari basecamp menuju ke pos lima, kami membutuhkan waktu kurang lebih satu jam. Masih ada satu jam lagi hingga ke puncak dan satu jam tambahan bagi yang ingin ke kawah ijen. Kami diaba-aba untuk melanjutkan perjalanan setelah berhenti kurang lebih tiga puluh menit. Namun, belum ada lima menit, aku berlari turun kembali ke pos lima. Perutku mendadak sakit. Ah, panggilan alam yang tidak tepat. “Lanjut saja, Mas, aku nanti naik sendiri saja.” Ujarku.

Setelah menunaikan hajat yang super penting, aku kembali mendaki, mencoba menyusul yang lain. Bukan bermaksud sombong tapi saat itu sudah pagi sehingga jalan pendakian sudah terlihat sangat jelas. Bahkan saat gelap sekalipun jalan pendakian sudah cukup jelas, jadi aku tidak merasa takut tersasar.

Memandangi Sunrise dari Jalur Pendakian Ijen

Aku berhasil menyusul rombongan tepat sebelum tanjakan utama. Jika dari basecamp hingga pos lima jalanan sudah rata dan enak, maka dari pos lima ke puncak inilah tantangan yang sesungguhnya. Jalan akan benar-benar menanjak dengan kemiringan yang cukup tinggi. Penderitaannya ditambah dengan minimnya bonus di jalan ini.

Aku mulai ngos-ngosan. Ini membuktikan meskipun Ijen termasuk “gunung wisata” tapi sebaiknya tetap melakukan persiapan fisik sebelum mendaki seperti membiasakan diri lari atau jalan kaki. Mendaki gunung tetaplah mendaki gunung. Persiapan itu penting terutama persiapan fisik. Butuh waktu satu jam lebih aku untuk mencapai ke puncak. Angin di puncak cukup kencang. Aku yang (merasa) kurus ini takut diterbangkan oleh angin.

Cukup Ramai di Jalur Menuju Puncak Kawah Ijen
Cukup Ramai di Jalur Menuju Puncak Ijen

Puncak gunung Ijen begitu indah. Aku bisa melihat kawah Ijen yang penuh air. Ada kepulan asap yang naik dari kawah. Aroma belerang juga cukup menyengat tapi aku masih bisa tahan. Warna biru air di kawah begitu kontras dengan dinding-dinding batuan belerang yang berwarna putih. Ditambah langit pagi yang biru menambah keindahan pagi itu terasa begitu luar biasa.

Di puncak gunung, ada beberapa bapak-bapak yang membawa belerang. Batuan belerang berukuran besar ini beliau ambil dari kawah. Perjuangan bapak-bapak mengambil batuan belerang ini sudah sangat terkenal dan banyak dituliskan oleh media-media. Kita bisa berfoto dengan bapak-bapak itu atau sekadar mencoba mengangkat pikulan super berat yang berisi batuan belerang. Sebagai gantinya, kita harus membayar untuk itu.

Puncak Ijen pagi itu cukup riuh. Selain pengunjung dan bapak penambang belerang, ada juga bapak-bapak yang berjualan suvenir. Aku cukup melewati mereka dan sesekali melempar senyum dan menyapa. Aku tidak ingin mengganggu pekerjaan bapak-bapak penambang itu.

Asap Belerang Warna Putih Mengepul Keluar dari Kawah Ijen
Asap Belerang Warna Putih Mengepul Keluar dari Kawah Ijen

Di puncak Ijen ada banyak pengunjung. Tamu rombongan yang bersamaku juga ada di sana. Kami mulai memfoto keindahan puncak Ijen. Kami juga saling membantu memfotokan satu sama lain agar kami memiliki dokumentasi. Tak hanya di puncak, kami berjalan sedikit lagi hingga ada di kawasan hutan mati. Di sini pemandangannya juga tidak kalah indahnya.

Aku mencari-cari lokasi yang bagus, memasang kamera dan tripod, lalu berpose dengan menggunakan hp sebagai remot. Meskipun bisa minta tolong tamu rombongan lain, tapi aku melihat mereka cukup kelelahan setelah mendaki. Guide yang menemani kami juga sibuk memfoto tamu-tamu rombongan lain. Alhasil, aku harus mandiri. Ya, beginilah nasib kalau jalan-jalan sendirian, tidak ada yang memfotokan dan harus mandiri.

Berfoto dengan Latar Kawah Ijen
Merem Dikit
Mandiri Berfoto di Area Hutan Mati Kawah Ijen
Mandiri Berfoto di Area Hutan Mati Kawah Ijen

Pukul delapan pagi, guide kami sudah meminta untuk turun. Gunung Ijen memang memiliki waktu berkunjung khusus. Ada larangan untuk mendaki Gunung Ijen dari siang hingga malam hari. Alasannya karena asap belerang dari kawah Ijen akan mulai naik dan angin akan menerbangkannya melewati puncak. Seperti yang kita tahu, asap belerang cukup berbahaya bagi manusia.

Memandangi Gunung Raung (?) Dari Jalur Ijen

Lalu bagaimana dengan blue fire-nya?

Untuk mendapatkan blue fire, kita harus turun ke kawah Ijen terlebih dahulu. Dari puncak menuju kawah membutuhkan waktu sekitar satu jam. Selain itu, blue fire hanya akan terlihat saat langit masih gelap. Karena lokasinya yang ada di kawah, pengunjung wajib menggunakan masker saat turun. Menurut hasil riset yang aku lakukan sebelum pergi, musim kemarau mulai bulan Mei hingga Oktober adalah waktu yang tepat untuk melihat blue fire.

Aku melakukan perjalanan ini pada bulan Juli. Artinya, sebetulnya aku dalam waktu yang tepat untuk melihat blue fire. Namun pada kali pertamaku ke Ijen saat itu, Gunung Ijen sedang berada dalam status Waspada atau Level II. Status Waspada ini membuat pengelola melarang seluruh pengunjung untuk turun ke kawah dan melihat blue fire. Hal tersebut juga yang membuat loket dan gerbang pendakian baru dibuka pada pukul tiga pagi.

Saat dalam status Aktif Normal (Level I), loket dan gerbang sudah dibuka sejak pukul satu pagi sehingga pengunjung bisa menyempatkan untuk turun ke kawah dan melihat blue fire. Sementara waktu itu, aku mencapai puncak saat matahari sudah terbit. Status gunung dan waktu yang tidak tepat harus memupuskan keinginanku melihat blue fire Gunung Ijen yang tersohor itu.

Satu minggu kemudian setelah aku dari Banyuwangi, status gunung diturunkan kembali ke Aktif Normal (Level I), artinya pendakian kembali dibuka normal sejak pukul satu pagi dan peluang untuk melihat blue fire menjadi sangat besar. Sungguh kecewa. Tapi tidak apa-apa, karena keselamatan diri tentu yang paling utama. Dan ini jadi alasan aku harus remidi ke Gunung Ijen lagi lain kali untuk menuntaskan rasa penasaran melihat blue fire. Tunggu aku lagi, ya.

By Gallant Tsany Abdillah

Hai, nama saya Gallant.

Leave a Reply