Kadang ada hal-hal yang memang bisa dimulai lewat hal-hal kecil dan sederhana. Termasuk memulai perjalanan mendaki Gunung Prau ini. Berawal dari sebuah direct message di Instagram dari Mbak Icha yang sempat menyinggung kamera baruku, terbentuklah sebuah rencana untuk mendaki gunung. Bukan sebuah kebetulan juga, aku memang sudah sangat lama tidak mendaki gunung serta sangat berhasrat untuk memotret milkyway atau gugusan bintang-bintang.
Menyusun Rencana Mendaki Gunung Prau
Memang mungkin saja mendaki gunung dilakukan sendirian, apalagi ini Gunung Prau yang memang sudah terkenal dan menjadi salah satu tempat wisata. Namun tidak bagiku dan Mbak Icha, karena kami berdua memang masih tergolong awam soal mendaki gunung, meskipun Mbak Icha sendiri sudah banyak berkelana sampai ke Labuan Bajo sekalipun. Tapi soal mendaki gunung, kami sepakat untuk tidak berangkat berdua dan mengajak beberapa teman lain.
Mbak Icha mengajak Angga dan Mas Adit. Mereka ini sepupuan. Kami sendiri sudah pernah berjumpa dan membuat acara camping bersama sebelum ini. Sayangnya, karena jadwal yang kurang cocok, Mas Adit terpaksa mundur dari agenda ini. Tak berapa lama, Angga dan Mbak Icha sama-sama mengajak teman kantor dan teman mainnya masing-masing. Angga mengajak Mbak Krista, sementara Mbak Icha mengajak Mas Irfan. Aku sendiri, memang tidak berniat mengajak siapa-siapa.
Rencana dimulai dengan menyusun jadwal terlebih dahulu. Keinginanku untuk memotret milkyway tentu kusampaikan. Agar dapat memotret milkyway, aku membutuhkan waktu ketika bulan sedang mati atau langit yang gelap gulita. Akhirnya aku mengusulkan tanggal 27-28 Agustus, saat musim kemarau, dan bulan masih sangat muda. Mbak Icha setuju.
Mendaki gunung saat musim kemarau tentu akan membantu kami agar tidak turun hujan selama pendakian. Musim kemarau, tepatnya bulan Juli-Agustus, juga saat Gunung Prau sedang dingin-dinginnya. Bahkan pada beberapa momen tertentu, suhu di Dieng dan Gunung Prau bisa mencapai di bawah nol derajat celcius dan akan terbentuk embun es pada pagi hari. Momen ini biasa dijumpai ketika Dieng Culture Festival.
Tanggal disepakati, kami mulai menyusun rencana perbekalan. Sementara aku, yang baru sekali mendaki gunung, meminta saran kepada sahabatku, Ari Faradisa, yang sudah pengalaman mendaki gunung sejak SMA. Tak dinyana, dari iseng-iseng bertanya, dia justru kepincut dan ingin bergabung. Aku tentu saja menerima dengan senang hati. Pun dengan teman-teman lainnya yang tidak keberatan.
Mendaki Gunung Prau bisa melalui beberapa basecamp seperti Patak Banteng yang sudah terkenal, Dieng, atau Wates. Tapi, Mbak Icha justru mengusulkan untuk mendaki dari basecamp Dwarawati berbekal video Youtube. Alasannya, Patak Banteng yang sudah terkenal itu pasti akan ramai dan berdebu, sementara Dwarawati cenderung masih sepi karena tidak banyak yang mengetahui.
Sayangnya, ketika aku sampaikan ini ke Ari, dia menolak dan akan tetap naik dari basecamp Patak Banteng. Tidak masalah, yang penting kami akan bertemu lagi di sunrise camp dan akan turun bersama-sama lewat Patak Banteng.
Aku, Mbak Icha, Mas Irfan, Angga, dan Mbak Krista mulai menyusun rencana perbekalan. Kami mulai membuat itinerary lengkap dengan besaran uang yang harus dikeluarkan bersama maupun individu. Aku sendiri karena tidak memiliki perlengkapan, mulai menyicil sedikit demi sedikit dengan meminjam tas, membeli matras, jaket, powerbank, sampai membeli sarung tangan kain yang tebal.
Bandung-Wonosobo bersama Budiman
Hari Jumat yang disepakati telah tiba. Aku meminta izin kepada atasan untuk pulang lebih awal. Persiapan dan pengecekan terakhir sebelum mandi dan memesan mobil ojek online untuk mengantarkanku ke Terminal Cicaheum. Seperti biasa, setiap sore terutama saat jam kantor, Bandung selalu macet. Aku butuh waktu setidaknya tiga puluh menit untuk menuju terminal.
Aku langsung menuju ke agen bus Budiman dan mengambil tiket sementara. Sebelumnya, aku sudah memesan tiket untuk keberangkatan ke Wonosobo dengan menghubungi agen melalui Whatsapp. Tidak hanya tiket berangkat, tapi aku juga beli tiket pulang dari Wonosobo menuju Bandung sekaligus. Mengamankan tiket lebih awal mengingat ini adalah akhir pekan, waktu banyak orang yang bepergian. Sayangnya, baik agen bus Budiman di Cicaheum maupun di Wonosobo sama-sama slow response.
Hanya ada dua perusahaan otobus yang melayani jalur Bandung-Wonosobo langsung tanpa transit yaitu Budiman dan Sinar Jaya. Tarif satu kali perjalanan sebesar Rp120.000 untuk bus Budiman dan Rp100.000 untuk bus Sinar Jaya. Bus Budiman lebih mahal 20.000 karena sudah termasuk kupon makan di rest area.
Bus Budiman berangkat pukul 17.00 waktu Cicaheum, menelusuri jalan Ahmad Yani menuju ke arah timur hingga Ujung Berung. Pada persimpangan Ujung Berung, bus belok kanan, masuk ke Jalan Rumah Sakit melewati depan RSUD Ujung Berung hingga lurus sampai ke Jalan Soekarno Hatta. Bus kembali belok ke arah kiri, menuju ke Bundaran Cibiru. Bus sempat singgah di Kantor Pusat Bus Budiman Bandung untuk kontrol dan menaikkan beberapa penumpang.
Baca juga: Mudik Tahun 2023 Bersama Gunung Harta
Di Agen Rancaekek, bus yang aku tumpangi juga menaikkan beberapa paket. Bus-bus AKAP (Antar Kota Antar Provinsi) selain mengangkut penumpang biasanya juga melayani pengiriman paket. Paket yang diangkut beragam jenisnya. Bisa sayuran hingga motor. Hanya saja, paket-paket seperti ini janjian antara kru dengan pengirim atau penerima paket. Melalui paket-paket inilah supir-supir mendapatkan ceperan lebih.
“Satu bus yang bawa tas carrier banyak juga, lho,” Aku mengirimkan pesan di grup Whatsapp. “Di sini juga banyak ternyata, Mas, hahaha. Tapi nggak tahu mau ke mana,” Jawab Mbak Krista. Kami saling memberi informasi terkait perjalanan kami di grup. Aku yang terkena macet di Limbangan, Mbak Icha dan Mas Irfan yang baru berangkat pukul 20.00 dari Terminal Pulo Gebang, Angga dan Mbak Krista yang baru berangkat pukul 22.00. Semuanya memikirkan hal yang sama: telat.
Pukul 00.00, busku masuk ke Rest Area Lumbir, Banyumas untuk servis makan. Aku langsung turun, mengenyangkan perut, dan tidak lupa minum Tolak Angin karena perut sudah mulai kembung. Waktu istirahat yang tersisa aku gunakan untuk salat Magrib dan Isya secara jamak. Bus diberangkatkan kembali, kondisi perutku sudah mulai nyaman, akupun tertidur.
Terbangun karena alarm pukul 03.00, aku menyadari telah tiba di Klampok, Banjarnegara. Bus Budiman menurunkan satu dua penumpang di sini dan melanjutkan perjalanan menuju tujuan akhir di Terminal Mendolo, Wonosobo. Akupun tiba di terminal pada pukul 04.30, saat terminal masih gelap, sepi, dan tentu saja dingin.
“Mandek. Suspensine ambles.” Pesan masuk dari Ari. Sudah pukul enam pagi, matahari sudah cukup tinggi. Pukul tujuh ia baru tiba di Parakan. Masih cukup jauh, sementara teman-teman lainnya sudah tiba. Hanya tinggal Ari seorang. Apakah kami akan tetap berangkat duluan dan meninggalkan Ari sendirian? Simak cerita selanjutnya.
[…] Baca perjalanan sebelumnya di sini […]