Tiba di Terminal Mendolo saat masih gelap, aku langsung menuju ke musala untuk menunggu azan subuh. Sesekali aku melihat grup Whatsapp untuk memantau teman-temanku. Perjalanan mereka sudah hampir tiba. “Busku mogok. Ketoke jelas telat iki.” Satu pesan Whatsapp masuk ke ponselku dari Ari. Perjalanan mendaki gunung Prau dan appreciation post untuk teman kecilku baru dimulai.
Baca perjalanan sebelumnya di sini
Terminal Mendolo ke Basecamp Dwarawati
Terminal Mendolo masih gelap, azan subuh bahkan belum berkumandang saat aku tiba di sana. Aku berjalan menuju ke musala di stasiun, menunggu untuk menunaikan salat subuh. Datang satu dua bus besar yang mampir untuk salat. Tampaknya rombongan wisata dari daerah Jawa Timur yang bahasanya bukan bahasa Jawa. Selepas salat subuh berjamaah, aku masih leyeh-leyeh di sekitar musala, sambil menunggu matahari terbit.
Sekitar pukul lima lewat lima belas menit, aku mulai masuk ke salah satu warung, dekat dengan agen bus Sinar Jaya dan Pebepe. Aku menurunkan tas dan memesan segelas teh hangat sambil mencomot tempe goreng yang baru saja diangkat dari penggorengan. Panas. Tidak lupa sambil charge baterai ponsel yang sudah berkurang.
“Aku baru ke arah Banjarnegara, Mas.” Mbak Krista memberikan info terkini keadaannya. Kami saling berkabar melalui grup Whatsapp. Pagi itu grup sudah kembali ramai. “Aku tunggu di warung dekat agen Sinar Jaya,” Jawabku.
Satu persatu mereka tiba dan langsung menuju ke warung tempatku menunggu. Aku sudah selesai sarapan pagi saat mereka baru mulai memesan minuman hangat. Kami mulai berkenalan satu sama lain karena aku hanya mengenal Mbak Icha dan Angga saja. Sambil menunggu pesanan minuman dan makanan datang, Angga ke kamar mandi untuk “setoran pagi”, juga ada yang cuci muka.
“Busku mogok. Ketoke jelas telat iki.” Satu pesan Whatsapp masuk ke ponselku dari Ari. Bus Sinar Jaya yang ditumpanginya terpaksa ngeban di jalan Weleri-Kendal sambil menunggu bus bantuan datang. “Budhal dhisik ae gak popo, engko ketemu ndek basecamp.” Berangkat duluan saja, nanti ketemu di basecamp, kata Ari yang aku jawab dengan “Gak popo, tak enteni,” Tidak apa-apa, aku tunggu. Aku menyampaikan kepada teman-temanku yang sudah sampai duluan dan mereka tidak masalah.
Ari tampak jauh lebih gemuk dari terakhir kami bertemu. Aku menyambutnya ketika dia turun dari bus dan mengambil tas carriernya. Bersama dengannya, ternyata banyak juga para pendaki lain yang menurunkan tas carriernya. Sejak pagi tadi juga silih berganti para pendaki yang turun di Terminal Mendolo ini. Tujuan mereka antara Prau, Sindoro, atau Sumbing.
Matahari sudah mulai meninggi. Tak butuh waktu lama sejak kedatangan Ari, kami bergegas menuju bus kecil yang akan membawa kami ke basecamp. Seperti rencana awal, Ari akan turun di basecamp Patak Banteng sambil menunggu Ubed, aku dan yang lainnya turun di basecamp Dwarawati. Setelah menaikkan tas carrier dan membayar Rp25.000 per orang, kami masuk satu persatu. Bus sudah penuh berjubel oleh para pendaki yang sama-sama akan ke Prau.
Bus berjalan perlahan membawa banyak penumpang ditambah dengan tumpukan tas carrier. Kontur jalan yang menanjak juga semakin membuat bus tidak bisa menambah kecepatan. Hingga pada suatu ketinggian, hawa dingin mulai masuk ke dalam bus kecil tanpa pendingin tersebut. Perjalanan dari Terminal Mendolo menuju basecamp Patak Banteng membutuhkan waktu kurang lebih dua jam.
Sebagian besar penumpang turun di Patak Banteng, termasuk Ari. Tinggal beberapa penumpang yang masih melanjutkan perjalanan menuju basecamp Dieng dan Dwarawati. “Punya telinga, punya perut, tapi nggak punya kepala, nggak punya kaki, nggak punya ekor. Apa hayo?” Bapak supir mulai memberikan tebak-tebakan jayus untuk mencairkan suasana. Kata beliau, yang bisa menjawab pertanyaan tidak perlu menambah biaya perjalanan.
Tentu saja, beliau yang lebih senior jauh berpengalaman dalam hal jokes bapak-bapak. Beruntung, meskipun kami tidak bisa menjawab pertanyaan yang sangat mudah itu, si bapak tidak menarik biaya tambahan dan mau mengantarkan kami hingga ke jalan masuk menuju basecamp Dwarawati. Mbak Icha segera meminta kontak si bapak tersebut agar dapat membantu menjemput kami saat turun dari mendaki gunung Prau esok hari.
Mendaki Gunung Prau dari Dwarawati Dimulai
Dari titik penurunan bus, kami sempat sedikit merapikan dan membuat diri kami senyaman mungkin. Kami masih harus berjalan kurang lebih 500 meter. Bagi pemula seperti kami, mendaki Gunung Prau bahkan sudah dimulai sejak saat ini.
Waktu menunjukkan pukul 10.30 saat kami tiba di basecamp. Sinyal masih ada. Mas Irfan diberi tugas untuk mendaftarkan diri dan membayar simaksi. Sementara aku dan Mbak Icha diberi tugas untuk membeli bekal makan siang di warung sebelum basecamp. Sengaja kami mengambil opsi untuk membeli nasi bungkus dengan tempe kemul untuk makan siang agar praktis.
Pukul 11.30. Hujan gerimis mulai turun. Kami meyakini ini hanyalah hujan yang disebabkan oleh awan dan bukan hujan betulan sehingga kami tetap memulai pendakian siang itu.
Ada alasan kenapa kami memilih mendaki gunung Prau melalui basecamp Dwarawati. Pertama, pendakian melalui basecamp Patak Banteng sudah sangat populer sehingga pasti akan sangat ramai. Begitu juga dengan basecamp lain seperti Dieng. Kami menghindari jalanan yang ramai karena merasa kami masih amatir, takut malu kalau berjalan sangat lambat. Hahaha. Kedua, menurut informasi dari Mbak Icha, jalanan yang harus dilalui, jika melewati basecamp Patak Banteng, sangat berdebu apalagi saat musim kemarau seperti ini. Ketiga, masih informasi dari Mbak Icha, perjalanan lewat Dwarawati lebih friendly bagi kami yang pemula ini alias akan banyak jalan datar. Semua informasi tersebut didapat dari sebuah vlog milik seorang Youtuber.
Tonton vlognya di sini
Perjalanan dari Basecamp hingga Pos 3
Hujan masih turun rintik-rintik saat kami sepakat untuk memulai perjalanan mendaki Gunung Prau melalui basecamp Dwarawati. Setelah berdoa singkat dan mengatur kekompakan, kami mulai masuk ke dalam dan langsung bertemu dengan tanjakan. Baru beberapa langkah, kami sudah tersengal. Namanya juga amatir. Meski ada beberapa kali jalan yang agak landai, tapi tetap saja perjalanan didominasi dengan tanjakan sampai Pos 1.
Beristirahat barang beberapa menit di Pos 1, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 2. Perjalanan menuju Pos 2 lebih menantang dengan jalan yang sempit berkelok-kelok dan tentu saja tanjakan yang sangat curam. Kami mengambil lebih banyak waktu berhenti satu dua menit untuk mengambil napas. Perjalanan ke Pos 2 ini kamiĀ bersama dengan rombongan lain yang tampaknya berisi orang-orang kaya yang terlihat dari pakaian dan tanpa barang bawaan (barang bawaan mereka dibawa oleh porter duluan).
Tiba di Pos 2 kami memutuskan untuk membuka tas dan mengambil bekal makan siang. Rasanya nasi bungkus yang hanya berlauk sangat sederhana itu terasa nikmat dimakan. Kami sengaja membuka bekal makan siang yang awalnya akan dimakan di puncak atau bahkan Sunrise Camp. Tapi ternyata mendaki Prau lewat Dwarawati tetap tidak semudah yang dibayangkan. Pos 2 Dwarawati juga menjadi tempat bersatunya percabangan dari jalur Dieng.
Langit mulai terlihat agak mendung selepas kami makan siang, beristirahat, foto, dan melanjutkan kembali perjalanan menuju pos 3. Kami mulai masuk ke area pohon-pohon pinus yang rindang. Jalanan masih terdiri dari tanjakan dan beberapa kali bonus. Seperti biasa, kami tetap mengambil banyak jeda istirahat sepanjang perjalanan. Kami sempat melewat jalan dengan tebing batu di sisi kiri sebelum akhirnya mencapai Pos 3 yang dikenal sebagai pos pemancar karena terdapat tower pemancar di dekat situ.
Kami hanya berhenti sejenak dan langsung tancap gas karena Pos 4 sekaligus puncak Prau sudah tidak terlalu jauh. Selain itu, waktu sudah menunjukkan waktu lewat Asar, kami tentu harus bergegas agar bisa mendapatkan tempat di sunrise camp untuk mendirikan tenda sebelum malam. Sesekali, aku masih bisa menerima pesan Whatsapp dari Ari dan Ubed yang sekaligus saling berkabar posisi masing-masing.
Tiba di Puncak Gunung Prau dan Menuju Sunrise Camp
Kabut mulai turun bersamaan dengan rintik-rintik air hujan. Ada yang mulai memakai jas hujan serta menutup tas agar tidak kehujanan. Kami hanya menyempatkan foto sebentar di Pos 4 sekaligus puncak Gunung Prau. Kabut yang turun membuat pemandangan yang harusnya bagus banget, tertutup. Kami melanjutkan perjalanan yang kali ini cukup panjang untuk menuju Sunrise Camp.
Perjalanan dari Puncak Prau ke Puncak Sunrise sangat gampang karena menurun dan sangat lapang. Kami perlu melewati semacam padang rumput yang mirip dengan Bukit Teletubbies di Gunung Bromo agar bisa tiba di Puncak Sunrise. Puncak Sunrise atau Sunrise Camp adalah tempat yang diperbolehkan untuk mendirikan tenda. Di Puncak Prau atau di Pos Pemancar, pendaki Prau dilarang untuk mendirikan tenda.
Kabut semakin tebal dan disertai dengan rintik hujan di Bukit Teletubbies membuat aku yang terpisah dari rombongan cukup kesulitan menentukan jalan menuju Sunrise Camp. Jarak pandang terbatas dengan rumput-rumput liar yang tinggi cukup menyulitkan untuk melihat jalan setapak menuju ke Sunrise Camp. Untungnya kabut sempat menghilang dan membuat pandangan menjadi jelas yang langsung aku manfaatkan untuk segera menuju ke Sunrise Camp.
Kami tiba di Sunrise Camp yang sekaligus menjadi tempat para pendaki berkumpul mendirikan tenda dan langsung mencari di mana Mas Irfan dan Mbak Icha menunggu. Perjalanan mendaki Gunung Prau akhirnya mencapai titik ujung. Di sinilah kami akan mendirikan tenda, bermalam, dan tentu saja menikmati sunrise keesokan paginya sebelum turun menuju basecamp Patak Banteng.
[…] Baca cerita sebelumnya di sini […]