Perjalanan dari Puncak Prau ke Puncak Sunrise sangat gampang karena menurun dan sangat lapang. Perjalanan menuju ke Puncak Sunrise melewati semacam padang rumput yang mirip dengan Bukit Teletubbies di Gunung Bromo. Saat mendaki Gunung Prau, Puncak Sunrise atau Sunrise Camp adalah tempat yang diperbolehkan untuk mendirikan tenda. Di Puncak Prau atau di Pos Pemancar, pendaki Prau dilarang untuk mendirikan tenda.

Baca cerita sebelumnya di sini

Bermalam dan Berburu Milkyway

Kabut semakin tebal dan disertai dengan rintik hujan di Bukit Teletubbies membuat aku yang terpisah dari rombongan cukup kesulitan menentukan jalan menuju Sunrise Camp. Jarak pandang terbatas dengan rumput-rumput liar yang tinggi cukup menyulitkan untuk melihat jalan setapak menuju ke Sunrise Camp. Untungnya kabut sempat menghilang dan membuat pandangan menjadi jelas yang langsung aku manfaatkan untuk segera menuju ke Sunrise Camp.

Dalam perjalanan mendaki Gunung Prau, perjalanan dari Puncak Prau ke Sunrise Camp memang mudah karena jalannya yang lurus dan landai tapi ternyata cukup jauh. Aku membutuhkan waktu sekitar 40 menit. Sunrise camp sudah penuh dengan pendaki dan butuh waktu beberapa menit hingga akhirnya aku menemukan Mbak Icha dan Mas Irfan sedang berdiskusi mengenai lokasi tenda. Sementara Ari dan Ubed belum tampak batang hidungnya.

Ubed Memotret Makanan dari Dalam Tenda

Sempat aku membuka Whatsapp dengan keterbatasan sinyal saat sedang mencari lokasi untuk mendirikan tenda. Ada pesan dari Ari yang kira-kira isinya mereka akan mendirikan tenda di sekitar shelter darurat. Tapi saat aku menuju ke sana, aku tidak menemukan mereka. Justru ketika aku kembali, Ari dan Ubed sudah sibuk mendirikan tenda bersama teman-teman yang lain. Aku tentu saja langsung ikut ngerusuh membantu mereka.

Pengetahuanku yang sangat minim soal mendirikan tenda, ditambah dengan pengalaman Ari dan Ubed sebagai alumni ekskul Pecinta Alam tentu sangat membantuku tetap santai. Ada mereka yang sudah sangat ahli mendirikan tenda sehingga aku tinggal membantu mereka bila dibutuhkan, misal membantu memasang pasak atau memegangi tracking pole yang kami jadikan sebagai tiang penyangga. Kami saling membantu hingga tenda kami semua berdiri sebelahan dengan tambahan flysheet di tengah sebagai penghubung. Total ada 3 tenda: Tenda khusus perempuan berisi Mbak Krista dan Mbak Icha, Tenda Ari dan Ubed, serta Tenda yang isinya aku, Mas Irfan, dan Angga.

Semburat cahaya matahari saat sunset sempat terlihat sebentar sebelum kemudian kabut turun lagi. Aku bergegas mengambil sajadah untuk salat duhur dan asar meskipun sudah sangat telat. Tenda sudah selesai dibangun, saatnya memasak untuk makan malam. Kami semua mengeluarkan logistik dan bekal. Ari dan Ubed langsung menyalakan kompor milik mereka, kami mulai memasak. Menu makan malam kami hanyalah nasi dan nugget tapi itu sudah lebih dari cukup.

Hari sudah gelap. Kami semua sudah makan malam. Aku dan Mbak Icha mulai mengambil kamera dan tripod. Saatnya berburu milkyway. Menurut aplikasi Stellarium yang ada di ponselku, milkyway di Gunung Prau akan muncul sekitar pukul 19.00 lalu menghilang dan akan muncul kembali pada dini hari sekitar pukul 2 atau 3 pagi. Situasi Sunrise camp yang ramai sebetulnya membuatku ragu karena takutnya akan menjadi polusi cahaya. Ditambah lagi, ada tenda yang agak jauh menggunakan lampu yang cukup terang dan suara musik yang agak ramai.

Aku melihat langit dari luar tenda. Gugusan bintang sudah terlihat dengan indah. Aku, Mbak Icha, dan Mas Irfan bergegas mencari tempat yang agak gelap dan lapang untuk mulai belajar memotret Milkyway. Kamera kupasang. Tripod kuberdirikan. Aku menggeser-geser posisi berdiri untuk mencari tempat yang tepat. Kamera kusetting dan jepret! Jepretan pertamaku tentang Milkyway masih kurang sempurna.

Aku mengubah lagi setting kamera dan menggeser posisi serta tidak lupa mengatur tinggi dan kemiringan tripod. Aku menjajal beberapa kali hingga puas. Kali pertama belajar memotret Milkyway aku sudah cukup puas meskipun hasilnya jauh dari sempurna, karena sempurna adalah salah satu merek rokok.

Aku kembali ke dalam tenda. Mbak Krista, sudah masuk ke dalam tenda, sepertinya sudah memasang posisi untuk tidur. Begitu pula Angga dan Mas Irfan. Hanya ada aku, Mbak Icha, Ari, dan Ubed yang masih terjaga. Kami bertiga mengobrol, sekadar update kehidupan atau membicarakan tentang sekolah kami dulu. Mbak Icha menyimak sambil membaca buku. Tentu saja kami tidak melupakan cemilan dan kopi meski aku lebih memilih minum air putih.

Milkyway saat mendaki Gunung Prau
Milkyway di Gunung Prau

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 21.00, kami semua sudah mulai mengantuk dan masuk ke dalam tenda masing-masing. Saatnya tidur dengan harapan bisa bangun pukul 3 untuk kembali mencoba memotret Milkyway meskipun tampaknya lebih enak tidur di dalam sleeping bag yang hangat.

Pukul 03.00 aku terbangun karena alarm yang langsung saja kumatikan. Aku menata bantal dan menaikkan kaus kaki untuk bisa tidur lagi. Ada semriwing angin yang masuk sepertinya dari celah-celah tenda.

Akhir Perjalanan Mendaki Gunung Prau

Kali ini aku benar-benar terbangun ketika mendengar suara kasak-kusuk dari luar tenda. Ari dan Ubed sudah terbangun dan tampaknya sedang membuat minuman hangat. Aku bergegas keluar tenda untuk salat subuh yang kesiangan. Malam hingga subuh di Prau benar-benar dingin membuatku lebih memilih untuk tetap tidur saja hingga pagi. Pagi itu, sekitar pukul 05.30, tampak pendaki lain sudah menuju ke spot masing-masing untuk melihat matahari terbit. Dari arah timur, secercah warna jingga menandakan sebentar lagi matahari akan muncul.

Selepas salat subuh aku mengambil kamera dan tripod tentunya. Aku juga tidak ingin ketinggalan untuk memotret keindahan sunrise di Prau yang sangat melegenda itu. Langit yang gelap sedikit demi sedikit berubah warna. Siluet gunung perlahan memudar menampakkan wujud aslinya. Tidak lupa lautan awan menyelimuti kaki gunung menambah magis sunrise pagi itu. Inilah tujuan utama kami mendaki Gunung Prau dan alasan utama kenapa tempat ini bernama Sunrise Camp.

Sunrise dari tenda saat mendaki gunung Prau
Pemandangan Sunrise dari Tenda

Pukul 07.30 kami mulai memasak sarapan. Karena aku memang dasarnya tidak terbiasa sarapan, maka aku memilih untuk memasak indomie rebus yang dimakan dengan sisa-sisa nugget yang masih banyak. Sejujurnya kami salah dalam memperhitungkan bekal yang harus dibawa sehingga banyak sekali bekal yang tidak sempat dimasak. Nugget yang aku bawa terlalu banyak sehingga harus dibawa pulang kembali.

Ternyata bayangan di awal akan masak dan makan banyak sambil menikmati keindahan gunung sirna. Nafsu makan ternyata sama saja seperti di rumah. Meski nafsu makan tidak menggebu-gebu, kami semua tentu tetap menyadari kalau pendakian itu butuh energi sehingga kami memasak secukupnya saja. Perjalanan mendaki Gunung Prau memberikan pelajaran lain untukku.

Mas Irfan, salah satu partner mendaki gunung prau
Mas Irfan

Ketika hari sudah mulai terik, kabut sudah menutupi gunung yang sepagi tadi menjadi idola, kami mulai mengemasi barang-barang dan membongkar tenda. Seperti pada umumnya, membongkar pasti lebih cepat dibanding dengan membangun. Kami segera berkemas agar bisa segera turun dan mengejar waktu tiba di Terminal Mendolo. Sementara Ubed juga mengejar waktu untuk kembali ke Semarang menggunakan motor bersama Ari. Berbeda dari saat mendaki kemarin, timku yang mendaki lewat Dwarawati akan turun lewat basecamp Patak Banteng.

Pukul 09.30 kami sudah beres berkemas dan mulai berdoa agar perjalanan turun dan mengakhiri kegiatan mendaki Gunung Prau dengan selamat. Kami sempat membuat konten ala-ala dan berfoto bersama sebelum kembali. Pemilihan turun melalui jalur Patak Banteng karena selain menjadi jalur yang populer juga menjadi jalur tercepat dibanding jalur pendakian lainnya yang aku tahu. Jika kemarin mendaki melalui Dwarawati butuh (normalnya) 3-4 jam, maka dari jalur Patak Banteng bisa 2-3 jam saja. Apalagi jika turun, tentu harapannya bisa lebih cepat.

Tapi kadang harapan tinggal harapan. Medan jalur melalui Patak Banteng terbilang cukup ekstrem. Selama kami turun, nyaris kami tidak ketemu dengan “bonus”. Seperti turun tangga dengan kemiringan yang cukup curam, tapi terbuat dari tanah. Jadi kalau dibalik, saat mendaki benar-benar isinya tanjakan yang tentunya akan lebih lelah. Turun melalui Patak Banteng juga kami lalui dengan pelan-pelan untuk mengamankan lutut.

Mbak Icha, Mas Irfan sudah jauh di depan. Angga dan Mbak Krista di kelompok kedua. Sementara aku, Ari, dan Ubed sebagai pendaki keong berjalan santai saja. Lebih baik lama tapi dengkul aman. Alasan kami adalah karena ingin menikmati suasana kami sudah tidak muda lagi. Selama turun, kami juga berbarengan dengan pendaki-pendaki lain. Kebanyakan turun karena mungkin sama seperti kami sebagai kaum pekerja yang menyempatkan naik gunung, tetapi ada juga yang baru naik.

Berbeda dari Dwarawati, sepanjang perjalanan melalui Patak Banteng nyaris tidak ada sinyal sama sekali. Hanya ada satu pos yang ada sinyal, sisanya (bahkan bergeser sedikit saja) sinyal langsung hilang. Meski bermaksud mengejar waktu, tapi kami tetap berhenti bila kondisi lelah atau sudah tiba di tiap pos. Kami tiba di pos 2 pukul 11.30 dan beristirahat agak lama di sebuah warung. Oh iya, enaknya di jalur Patak Banteng terdapat warung di Pos 2 jadi bisa istirahat, charging ponsel, beli bekal, atau sekadar makan tempe kemul.

Setelah beristirahat cukup lama, kami melanjutkan perjalanan menuruni tangga cor-coran dari Pos 2 ke Pos 1. Tidak begitu jauh ditambah dengan energi yang baru saja diisi membuat kami bisa sampai dengan cukup cepat. Dari Pos 1 kami segera memesan ojek motor. Ya, betul, ojek motor, karena di jalur Patak Banteng terdapat ojek motor yang bisa mengantarkan pendaki dari basecamp hingga Pos 1 dan sebaliknya. Biayanya kurang lebih Rp15.000 per orang yang bisa diisi dua orang penumpang alias cenglu. Tentu saja kami setuju untuk menggunakan ojek, daripada jalan kaki yang butuh waktu agak lama karena jarak yang lumayan jauh, meskipun sekadar melalui jalan desa saja.

Di basecamp Patak Banteng, kami segera melaporkan diri ke petugas. Sudah menjadi kewajiban pendaki untuk lapor baik ketika berangkat maupun saat sudah tiba kembali di basecamp. Di Gunung Prau, pendaki bisa melakukan pendakian lintas basecamp (naik dari basecamp A tapi turun di basecamp B).

Setelah lapor dan membuang sampah, kami berpisah. Aku dan teman-temanku memilih untuk ke salah satu rumah yang menyediakan air hangat. Di rumah tersebut pendaki bisa mandi dan makan serta mengisi daya gawainya. Ari dan Ubed berpamitan dan langsung turun sesegera mungkin karena harus mengembalikan tenda, ditambah mereka naik motor dan mengejar waktu agar tiba di Semarang sebelum pukul 21.00 WIB.

Selesai bersih-bersih, ganti pakaian, dan menata kembali tas, timku segera berjalan ke jalan utama Dieng untuk menunggu bus yang lewat dan akan mengantarkan kami ke Terminal Mendolo. Kabut turun dengan sangat pekat dan disertai air-yang mengguyur selama perjalanan kami menuju Terminal Mendolo. Di Terminal Mendolo kami kemudian berpamitan dan berpisah. Aku menuju agen Budiman, sementara yang lain ke agen bus menuju Jakarta.

Perjalanan mendaki Gunung Prau berakhir dengan sangat menyenangkan. Pengalaman yang aku dapat benar-benar luar biasa. Aku mengucapkan banyak terima kasih kepada Mas Irfan, Angga, Mbak Icha, dan Mbak Krista, serta Ari dan Ubed yang menemaniku dalam kegiatan pendakian ini serta mewujudkan salah satu wishlistku. Terima kasih semuanya.

Appreciation Post untuk Teman Kecilku, Ari Faradisa

Satu bab khusus untuk Ari Faradisa, yang sudah menjadi teman baikku sejak sebelum TK.

Bisa dibilang, aku sangat bergantung ke Ari. Kami masuk TK bareng, di TK yang sama. Usiaku yang lebih tua 5 bulan dari Ari sebetulnya bisa “naik kelas” ke TK B, tapi aku memilih untuk tetap di TK A. Aku lupa alasan sebenarnya apakah karena aku takut untuk masuk ke TK B atau bukan, tapi intinya aku ingin biar bersama Ari.

Kedekatan aku dan Ari lebih dari itu karena keluarga kami juga saling mengenal. Bahkan aku memanggil orang tua Ari dengan sebutan Bapak dan Ibuk seperti Ari memanggil orang tuanya. Sebaliknya Ari memanggil orang tuaku dengan sebutan Ayah dan Mama seperti aku memanggil kedua orang tuaku.

Urusan jemput-menjemput aku dan Ari juga dilakukan orang tua kami secara bergantian. Kadang Bapak yang menjemput, kadang Ayah yang menjemput kami saat TK. Saat acara rekreasi TK pun kami duduk bersebelahan. Bahkan saat jalan-jalan juga bersama-sama terus.

Lulus TK, kami masuk ke SD yang sama. Susah senang mulai dari suntik imunisasi hingga rekreasi SD saat kelas 5 ke Jogja telah kami lalui. Saat SD juga kami sama-sama pindah rumah tapi masih satu RT. Hingga kami kemudian berpisah saat kelulusan SD, ketika Ari memilih masuk ke MTs sementara aku ke SMP, meskipun kedua sekolah itu jaraknya tidak begitu jauh.

Masa kecil kami habiskan dengan bermain bola bersama setiap sore, salat magrib bersama di Masjid At Taubah yang sampai sekarang masjidnya masih ada, bermain gobak sodor saat malam minggu atau bulu tangkis bersama anak-anak tetangga lain, dan tidak lupa main PS bareng.

Hingga kemudian saat masa SMP ini, dia pindah ke rumah yang sampai sekarang ditempati. Meski begitu, dia masih sering berkunjung ke rumah atau sebaliknya aku yang main ke rumah dia. Terutama saat malam minggu yang kami selalu agendakan untuk bersepeda bersama muter-muter kota Babat sambil bercerita kehidupan di sekolah masing-masing. Termasuk urusan cinta monyet.

Kami masuk ke SMA yang sama. Saat itu juga keluargaku pindah rumah yang tentu saja dekat dengan rumah Ari hanya beda desa (meskipun sudah beda kabupaten). 3 Tahun masa SMA kami menyusun jalan masing-masing. Ari dengan kegiatan Pecinta Alam, aku dengan ekskul yang lain, tapi kami berdua sama-sama menjadi pengurus OSIS. Salah satu momen yang paling kami kenang adalah saat momen LDKS (Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa) dengan lagu Kastol.

Selama 3 tahun masa SMA pula kami hampir setiap berangkat dan pulang sekolah selalu bersama dengan naik sepeda masing-masing. Kadang aku yang menjemput, kadang dia yang menjemput. Meski hampir setiap hari ketemu di sekolah, tapi setiap malam minggu “ritual” bersepeda keliling tetap dilaksanakan.

Saat menjelang kelulusan SMA, kami saling mendukung dan menemani saat sedang mencari kampus untuk kuliah hingga akhirnya Ari diterima kuliah di Surabaya dengan menekuni passionnya sebagai programmer, sementara aku merantau ke Jogja. Masa kuliah, komunikasi kami memang sudah jarang. Tapi kami masih percaya bahwa kami saling mendukung satu sama lain.

Semakin tua, kami memang sudah sangat jarang ketemu. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kami ketemu. Namun yang pasti, kami masih tersambung dengan komunikasi melalui sosial media. Hingga akhirnya aku merencanakan perjalanan mendaki Gunung Prau ini yang ternyata malah menjadi pengalaman pertama aku bisa naik gunung bersama sahabat lamaku ini sekaligus pertemuan pertama kami setelah sekian lamanya. Semoga kami bisa kembali mendaki gunung yang lain di kesempatan berikutnya.

Minggu tanggal 06 Agustus 2023, sahabatku ini akhirnya mempersunting wanita idamannnya. Aku hanya ingin mengucapkan selamat atas pernikahannya dan mendoakan agar pernikahannya selalu dilimpahkan rahmat dan kasih dari-Nya serta selalu dimudahkan dalam setiap ujian. Selamat menempuh hidup baru dan bahagia selalu, Teman.

By Gallant Tsany Abdillah

Hai, nama saya Gallant.

Leave a Reply